KH Nur Ali Hamidi S Pd I : Kenapa Manusia Diangkat Menjadi Khalifah

Header Menu

Advertisement

KH Nur Ali Hamidi S Pd I : Kenapa Manusia Diangkat Menjadi Khalifah

Redaksi
Kamis, Mei 15, 2025

KH Nur Ali Hamidi S Pd I : Kenapa Manusia Diangkat Menjadi Khalifah



BAROMETERMAS.COM. Kota Bekasi, - Kegiatan Pengajian yang di laksanakan di setiap minggu sekali pada setiap hari kamis di Masjid Nurul Ilmi Idolmart yang beralamat Jalan Raya Jati Bening No 60 A, Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi, Kamis (15/05/2025).


Dalam Tausiyahnya KH Nur Ali Hamidi S Pd I mengatakan:
"Kenapa Manusia Diangkat Menjadi Khalifah".

                                                                                Kalau kita buka ayat Al-Qur’an, surat At-Tin ayat 3, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan struktur yang paling baik dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.


Kenapa bisa demikian?

Karena manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dengan memenuhi tiga unsur :

Unsur ruh, Unsur jiwa, Unsur fisik.


Allah menciptakan manusia dengan unsur ruh, sebagaimana yang pertama kali disebutkan dalam surat Al-Hijr ayat 29:

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي

Artinya: Apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya, maka Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku.

Ruh adalah substansi yang sangat misterius dan hanya diberikan kepada manusia.

Ruh inilah yang menggerakkan manusia untuk beraktivitas sehari-hari dalam tugasnya sebagai khalifah. Ruh ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, termasuk malaikat.


Malaikat diciptakan oleh Allah dari cahaya, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ.

Artinya: Dari Aisyah berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian."


Unsur jiwa, yang bisa membawa manusia menduduki posisi tertinggi dibandingkan makhluk lainnya.



Kenapa demikian?

Karena potensi yang Allah titipkan dalam dirinya dimanfaatkan untuk selalu berbuat baik dan positif. Ia selalu terhubung dengan Penciptanya setiap saat, fokus jiwa dan hatinya hanya kepada-Nya.


Karena Dia adalah sumber segala-galanya, terutama sumber ketenangan, kedamaian, dan keselamatan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam surat Asy-Syams ayat 7–10:


وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

Artinya: Demi jiwa dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya.


Di ayat ini terdapat kata "taqwaha" yang artinya manusia yang baik adalah manusia yang mengikuti nuraninya, yang selalu berusaha untuk berbuat baik dan positif dalam kehidupannya.


Ia selalu shalat, zakat, infak, menjalin silaturahmi dengan sesama, bahkan dengan alam semesta. Ia memaksimalkan akal, fisik, dan waktunya untuk kemaslahatan orang banyak, tidak egois.


Orang-orang mukmin dan muslim yang baik adalah mereka yang aktif, dinamis, dan kreatif.

Mereka bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Karena sejatinya, semua yang mereka lakukan kembali kepada diri mereka sendiri.


Prinsip orang-orang beriman kepada Allah SWT adalah bahwa semua perbuatan baik merupakan investasi bagi diri sendiri, karena tidak ada yang gratis dalam hidup ini.


Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 7:

إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

Artinya: Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat buruk, maka keburukan itu juga kembali kepada dirimu sendiri.


Juga dalam ayat lain:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ، وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Artinya: Barang siapa yang melakukan kebaikan seberat zarrah, maka ia akan melihat balasannya. Barang siapa melakukan keburukan seberat zarrah, ia pun akan melihat balasannya.


Keyakinan inilah yang memotivasi seorang mukmin untuk selalu berbuat baik dan positif.

Ia selalu berusaha sekuat tenaga menghindari segala bentuk keburukan, penyimpangan, dan maksiat, yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai "fujuraha" — jalan yang menyimpang, yang tidak diridhai Allah SWT.


Kata "taqwaha" inilah yang memotivasi manusia beriman untuk selalu memberikan yang terbaik bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat.



Hal inilah yang menyebabkan manusia mendapat amanah untuk menerima mandat sebagai khalifatullah, dalam menata kehidupan dunia ini dengan mengikuti kurikulum atau manhaj dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta.


Inilah yang kita baca minimal 17 kali dalam sehari semalam:

اهدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيمَ

“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.”


Sebagai khalifah di bumi, kita harus mengikuti kehendak Sang Pencipta.

Orang-orang yang selalu mengikuti kebenaran inilah yang layak mendapatkan gelar "هدنا الصراط المستقيم".


Kenapa demikian?

Karena mereka adalah praktisi dalam mengamalkan Al-Qur’an, bukan sekadar membacanya, menghafalnya, atau menyampaikannya dalam ceramah.


Inilah yang Allah sampaikan kepada para malaikat:

إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, wahai para malaikat.


Jiwa yang selalu dijaga dari kotoran dosa dapat membawa manusia yang tadinya hina menjadi mulia. Yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, karena diberi ilmu oleh Yang Maha Tahu.


Sebagaimana firman-Nya:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ

Artinya: Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian memperlihatkannya kepada para malaikat.


Dari sinilah manusia layak menyandang gelar khalifah dalam kehidupannya, karena tidak terjebak dalam sifat-sifat kotor dan egois yang menjerumuskan ke jalan kehinaan.


Jiwa yang selaras dengan fitrah penciptaannya akan membimbing ke jalan yang dirahmati dan diridhai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur’an yang membahas tentang jiwa manusia, seperti dalam:


Al-Maidah ayat 32


Al-Baqarah ayat 286


Ar-Ra’d ayat 11


Asy-Syams ayat 7–10


Dalam surat Al-Maidah ayat 32:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا ۖ وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Artinya: Barang siapa yang membunuh seorang manusia — bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi — maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.


Di ayat ini terdapat kata "nafsin" (jiwa), yang memegang peranan sangat penting.

Jiwa inilah yang bertanggung jawab atas perbuatan, perasaan, dan pikiran manusia.


Psikologi Barat dan Islam sepakat bahwa jiwa itu tidak mati. Ia kekal, meskipun tubuh hancur lebur. Dialah yang akan mempertanggungjawabkan seluruh amal manusia.


Unsur fisik

Unsur fisik menjadikan kehidupan manusia seimbang dan sempurna, tidak seperti malaikat. Unsur ini pula yang menjadikan manusia layak mengemban amanah sebagai khalifah di bumi.


Untuk menjaga keseimbangan antara jiwa dan fisik, ajaran Islam senantiasa mengajarkan hidup sehat dan sempurna.



Sebagai manusia, sejak awal kehidupan di dunia, kita sudah diberi asupan terbaik oleh Allah SWT melalui ibu kita, yaitu air susu ibu (ASI), agar otak cerdas, tubuh sehat, dan imun dari penyakit.


العقل السليم في الجسم السليم

Akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.


Ini dikatakan oleh seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter besar Islam: Ibnu Sina.


Ketiga komponen inilah — ruh, jiwa, dan fisik — yang menyebabkan manusia layak diangkat menjadi khalifah.


والله أعلم بالصواب

Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui segala kebenaran.


(SYAHIDIN)