Nafsu Materialistik Dengan Pemalsuan Tanda Tangan Sertifikat Tanah

Header Menu

Advertisement

Nafsu Materialistik Dengan Pemalsuan Tanda Tangan Sertifikat Tanah

Redaksi
Minggu, Desember 11, 2022

Nafsu Materialistik Dengan Pemalsuan

Tanda Tangan Sertifikat Tanah


                         (Oleh: Ritz Erick Imanuel)

Foto Istimewa Ritz Erick Imanuel 

Praktik pemalsuan tanda tangan di Indonesia, apakah bisa menggiurkan sebagai nafsu

materialistik?

Apa hanya kebutuhan terdesak secara terpaksa?


Praktik pemalsuan tanda tangan kerap kali terjadi pada suatu surat perjanjian yang bersifat formal, seperti perebutan harta kekayaan atau kekuasaan atas dasar nafsu yang materialistik sehingga dibutakan oleh nafsu duniawi dan bisa menimbulkan kerugian secara material dan psikologis karena perbuatan pemalsuan tanda tangan baik secara digital atau elektronik, seperti yang sering terjadi pada kasus perebutan harta kekayaan dengan jalan terbaik ialah memalsukan tanda tangan dari pemilik yang telah diwariskan keluarganya.



Nafsu materialistik dengan pemalsuan tanda tangan tersebut menimbulkan isu polemik pada beberapa kasus yang telah terjadi, terkhusus kasus yang terjadi pada warisan keluarga.

Dramatisasi dari kasus pemalsuan tanda tangan tersebut, pada pelaksanaannya terjadi dengan

menargetkan beberapa hektar tanah yang ingin dikuasai sehingga adanya intervensi dari kekuasaan lembaga pertanahan secara eksekutif dengan keberlangsungan cukup lama yang dimulai dari Badan Pertanahan Nasional yang mengurus sertifikat hak kepemilikan tanah baik itu tanah girik, ulayat, wakat sampai dengan tanah warisan.



Pengaturan yang memuat terkait dengan pemalsuan tanda tangan dokumen atau sertifikat tanah warisan dapat ditemukan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 263 KUHP tertulis: (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam (6) tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Selanjutnya, dasar hukum Pasal 264 KUHP menegaskan: (1) Pemalsuan tanda tangan pada dokumentasi atau sertifikat tanah warisan, dapat diancam atau dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama delapan (8) tahun, dengan berbagai bukti

seperti berikut: 1. Akta-akta otentik; 2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; 3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; 4. Talon, sebagai tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3,  atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan; (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.




Dengan demikian, berdasarkan pasal-pasal yang telah disebutkan diatas terhadap kasus tindakan yang memalsukan tanda tangan di dokumen atau sertifikat, maka dapat dijerat hukum / terkena hukuman pidana, walaupun tidak menimbulkan kerugian material atau lainnya. Hal ini bisa disebabkan dari kata “dapat” pada pasal-pasal tersebut dapat diartikan, bahwa hanya kemungkinan saja yang menimbulkan kerugian, pelaku juga dapat dihukum atas dasar pemalsuan dokumen atau sertifikat atau surat lainnya. Kerugian yang dimaksud, bukan hanya dalam bentuk kerugian materiil, tetapi juga kerugian imateriil dan psikologi dari korban yang bersangkutan. Selain itu, jika pemalsuan tanda tangan pada akta-akta otentik, maka dapat di ancam hukuman lebih berat dari yang sudah tertulis di KUHP Pasal 263 dan Pasal 264. Selain itu, tersangka yang dihukum menurut pasal-pasal diatas tidak saja yang memalsukan, tetapi juga dengan sengaja menggunakan tanda tangan palsu tersebut untuk mengklaim sertifikat tanah warisan yang bukan menjadi haknya sebagai ahli waris. Adanya unsur kesengajaan yang dimaksud sebelumnya, dalam artian, bahwasannya pelaku atau tersangka yang mengklaim itu harus mengetahui benar-benar bahwa dokumen atau sertifikat yang digunakan itu sebagai tanda tangan palsu. Apabila, si pelaku atau terdakwa tidak mengetahui dari perbuatan tersebut, maka tidak dapat dijatuhi hukuman. Dengan demikian, permasalahan tersebut, bila terjadi dikemudian pada masa mendatang terkait dengan pemalsuan tanda tangan tersebut, maka bisa timbul kerugian bagi korban, sepanjang tidak memakai / menggunakan / memanfaatkan akta / dokumentasi / hasil / keterangan / perjanjian / surat / dari pemalsuan tanda tangan tersebut, maka tidak dapat dijatuhi hukuman.


ARTIKEL POPULER:

Ritz Erick Imanuel

Mahasiswa Fakultas Hukum,

Universitas Indonesia


(A Riyadi)